30 November 2009

Jayanti

Jayanti
(Sesbania sesban Merr.)

Sinonim :
= S.aegyptiaca, Pers.

Familia :
Papilionaceae

Uraian :
Jayanti banyak ditemukan di Jawa, biasa di tanam di pekarangan, galengan sawah atau di perkebunan sebagai tanaman naungan, penahan angin atau pupuk hijau. Tanaman ini dapat tumbuh pada tanah yang jelek dan dapat ditemukan dari dataran rendah sampai sekitar 800 m dpi. Perdu atau pohon kecil, tinggi 2-6 m, banyak bercabang, tumbuhnya cepat. Daun berupa daun majemuk menyirip, dengan 7-25 pasang anak daun. Anak daun berbentuk garis sampai memanjang, bertangkai pendek, ujung bulat, tepi rata. Bunga dalam tandan, warnanya kuning. Buahnya buah polong, tumbuh menggantung, berbentuk garis. Daunnya dapat dimasak dan dimakan sebagai sayur. Selain itu, daunnya juga dapat digunakan untuk pupuk hijau dan digunakan sebagai makanan ternak. Perbanyakan dengan biji.

Nama Lokal :
Jayanti (Sunda), janti, giyanti, kelor wana (Jawa);

Penyakit Yang Dapat Diobati :
TB Paru (Tuberculosa), Kencing nanah, lnfeksi ginjal, demam;

Pemanfaatan :
BAGIAN YANG DIPAKAI: Daun, akar, kulit, biji, dan minyak,

KEGUNAAN:
Daun:
1. Demam.
2. Cacingan.
3. TB Paru (Tuberculosa).
4. Radang selaput lendir mata.
5. Infeksi ginjal.

Kulit:
1. Sukar berkeringat.
2. Kencing kurang lancar.
3. Kencing nanah.

Biji:
1. Kepala pusing.
2. Batuk.
3. Keguguran,
4. Datang haid tidak teratur.

Akar:
1. Kencing nanah.
2. Sifilis.

Minyak:
1. Borok, koreng, kudis.
2. Trachoma.

PEMAKAIAN:
Untuk minum: 1/4-1 genggam daun.
Pemakaian luar: Daun digiling halus, untuk pemakaian setempat.

CARA PEMAKAIAN:
1. TB Paru:
Daun jayanti sebanyak 1/4 genggam, dicuci bersih lalu ditumbuk
sampai halus. Tambahkan 1/2 gelas air masak dan 1 sendok makan
madu. Aduk sampai merata, lalu diperas dan disaring, minum.
Lakukan 3 kali sehari.

2. Kencing nanah:
1 jari akar jayanti, 6 lembar daun sirih, 6 buah kemukus, jintan hitam
dan adas masing-masing 3/4 sendok teh, 3/4 jari pulosari, 3 jari
gula enau, dicuci dan dipotong-potong seperlunya. Rebus dengan
4 gelas air bersih sampai tersisa 2 1/4 gelas. Setelah dingin
disaring, minum. Sehari 3 x 3/4 gelas.

3. lnfeksi ginjal:
Daun jayanti sebanyak 1 genggam, dicuci bersih lalu bilas dengan
air matang. Masukkan daun tadi kedalam 3/4 gelas air. Remas-
remas daunnya sampai airnya berbusa. Saring, minum airnya.
Lakukan setiap hari, sampai kencingnya menjadi lancar dan jernih
kembali.

4. Demam:
Daun secukupnya dicuci bersih lalu diremas-remas dengan adas.
Dibalurkan pada badan, yang akan memberikan rasa sejuk pada
penderita demam.





Biduri

Biduri
(Calotropis gigantea [Willd.] Dryand.ex WTAit.)

Sinonim :
C. gigantea R.Br., Asclepias gigantea Willd.

Familia :
asclepiadaceae.


Uraian :
Biduri banyak ditemukan di daerah bermusim kemarau panjang, seperti padang rumput yang kering, lereng-lereng gunung yang rendah, dan pantai berpasir. Semak tegak, tinggi 0,5-3 m. Batang bulat, tebal, ranting muda berambut tebal berwarna putih. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan. Helaian daun berbentuk bulat telur atau bulat panjang, ujung tumpul, pangkal berbentuk jantung, tepi rata, pertulangan menyirip, panjangnya 8-30 cm, lebar 4-15 cm, berwarna hijau muda. Permukaan atas helaian daun muda berambut rapat berwarna putih (lambat laun menghilang), sedangkan permukaan bawah tetap berambut tebal berwarna putih. Bunga majemuk dalam anak payung, di ujung atau ketiak daun. Tangkai bunga berambut rapat, mahkota bunga berbentuk kemudi kapal, berwarna lila, kadang-kadang putih. Buahnya buah bumbung, berbentuk bulat telur atau bulat panjang, pangkal buah berupa kaitan, panjang 9-10 cm, berwarna hijau. Bijinya kecil, lonjong, pipih, berwarna cokelat, berambut pendek dan tebal, umbai rambut serupa sutera panjang. Jika salah satu bagian tumbuhan dilukai, akan mengeluarkan getah berwarna putih, encer, rasanya pahit dan kelat, lama-kelamaan terasa manis, baunya sangat menyengat, dan beracun. Kulit batang biduri mengandung bahan serat yang dapat digunakan untuk membuat jala. Biduri dapat diperbanyak dengan biji

Nama Lokal :
NAMA DAERAH: Sumatera: rubik, biduri, lembega, rembega, rumbigo. Jawa: babakoan, badori, biduri, widuri, saduri, sidoguri, bidhuri, burigha. Bali: Manori, maduri. Nusa Tenggara: muduri, rembiga, kore, krokoh, kolonsusu, modo kapauk, modo kampauk. Sulawesi: rambega. Nama asing: Giant milk weed, mudar plant (I), kapal-kapal (Tag.), oscherstrauch. Nama simplisia : Calotropidis Cortex Radicis (kulit akar biduri).

Penyakit Yang Dapat Diobati :
SIFAT DAN KHASIAT: Kulit akar biduri berkhasiat kolagoga, peluruh keringat (diaforetik), perangsang muntah (emetik), memacu kerja enzim pencernaan (alternatif), dan peluruh kencing (diuretik). Kulit kayu biduri berkhasiat emetik, bunga berkhasiat tonik, dan menambah nafsu makan (stomakik). Daun berkhasiat rubifasien dan menghilangkan gatal. Getahnya beracun dan dapat menyebabkan muntah. Namun, berkhasiat sebagai obat pencahar.

Pemanfaatan :
BAGIAN YANG DIGUNAKAN
Bagian tumbuhan yang digunakan adalah kulit akar, daun, getah, dan bunga.

INDIKASI
Kulit akar digunakan untuk pengobatan : demam, perut terasa penuh, kaki pegal dan lemas, gigitan ular beracun, borok kronis, dan penyakit kulit lainnya.
Daun digunakan untuk pengobatan : kudis, luka, borok, sariawan, gatal pada cacar air (varicella), campak (measles), demam, dan batuk.
Bunga digunakan untuk pengobatan: radang, lambung (gastritis), batuk, sesak napas, influenza, sifilis sekunder, kencing nanah (gonorrhoea), dan kusta (lepra).
Getah digunakan untuk pengobatan: bisul, eksim, pembesaran kelenjar getah bening, luka pada sifilis, luka di kaki, sakit gigi, dan mencabut duri yang menusuk kulit.

CARA PEMAKAIAN
Untuk obat yang diminum, rebus 0,1-0,65 g kulit akar, lalu diminum. Untuk pemakaian luar, layukan daun segar secukupnya, lalu tambahkan kapur sirih dan giling sampai halus. Selanjutnya, lumurkan ramuan ke bagian tubuh yang terkena penyakit kudis. Untuk sakit perut, layukan daun segar di atas api, lalu oleskan minyak di bagian permukaannya, digunakan untuk menutup perut. Untuk sakit telinga, tumbuk daun muda sampai halus, lalu peras. Air perasannya diteteskan pada telinga yang sakit. Untuk luka atau borok, giling daun kering sampai halus, lalu taburkan serbuk pada bagian yang luka atau borok.

CONTOH PEMAKAIAN
Gastritis
Cuci 1/3 genggam bunga biduri, lalu rebus dalam tiga gelas air sampai tersisa kira-kira 2 1/4 gelas. Setelah dingin, saring dan tambahkan madu secukupnya. Selanjutnya, ramuan slap untuk diminum. Untuk pengobatan, minum ramuan ini sebanyak 3/4 gelas, sehari tiga kali.

Lepra, sifilis sekunder, gonorrhoea
Rebus 0,1 g bunga kering dalam tiga gelas air sampai tersisa menjadi satu gelas. Setelah dingin saring dan air saringannya diminum.

Digigit ular beracun
Cuci akar sebesar 1 jari sampai bersih, lalu kunyah dan airnya ditelan, sedangkan ampasnya digunakan untuk menutup luka.

Kaki pegal dan lemas
Cuci akar secukupnya sampai bersih, lalu tumbuk halus. Tambahkan tepung beras (sama banyak) dan aduk sampai rata. Gosokan ramuan pada bagian kaki yang sakit.

Bisul
Teteskan getah buah di atas bisul yang membandel.


Luka pada sifilis dan kaki
Cuci luka-luka pada sifilis dan kaki, lalu oleskan getah biduri pada bagian luka tersebut.

Tertusuk duri halus
Teteskan getah biduri pada bagian tubuh yang tertusuk duri. Secara langsung, getah akan mengeluarkan duri di dalam kulit dengan sendirinya.

Pembesaran kelenjar getah bening.
Oleskan kelenjar yang membengkak dengan getah biduri.

Sakit gigi
Oleskan getah biduri pada gigi yang sakit. Cara pengolesan ini harus dilakukan dengan hati-hati, jangan mengenai gigi yang sehat.

Batuk dan sesak napas
Bakar daun kering, lalu hirup asapnya.

Sariawan
Cuci daun secukupnya sampai bersih, tumbuk sampai halus, kemudian diperas. Oleskan air perasannya pada bagian yang sariawan.

Campak
Cuci 1/4 genggam daun biduri, 1/4 genggan daun asam muda, dan rimpang kunyit sebesar 1/2 jari; lalu tumbuk sampai halus. Tambahkan satu cangkir air masak dan satu sendok makan madu, lalu aduk sampai rata. Selanjutnya, ramuan disaring dan air saringannya diminum. Pengobatan ini dilakukan dua kali sehari.

Sakit telinga
Cuci daun muda sampai bersih, lalu tumbuk sampai halus. Selanjutnya, peras dan saring, lalu airnya diteteskan pada bagian telinga yang sakit. Lakukan pengobatan ini 3-4 kali sehari.

Sakit perut
Cuci daun sampai bersih, lalu layukan di atas api. Oleskan minyak, kemudian letakkan daun di sekitar perut.


Kudis
Cuci satu genggam daun segar sampai bersih, lalu bilas dengan air matang. Layukan daun-daun tersebut di atas api, lalu tumbuk dan tambahkan 1/4 sendok teh kapur sirih. Penumbukan dilakukan sampai ramuan menjadi adonan, seperti bubur kental. Terakhir, oleskan ramuan pada tangan dan kaki yang kudisan.

Gatal
Cuci daun biduri sampai bersih, lalu oleskan minyak kelapa di bagian permukaannya dan layukan di atas api. Bahan tersebut digunakan untuk membalur kulit yang gatal.

Catatan
Getah tumbu

Komposisi :
Akar mengandung saponin, sapogenin, kalotropin, kalotoksin, uskarin, kalaktin, gigantin, dan harsa. Daun mengandung saponin, flavonoida, polifenol, tanin, dan kalsium oksalat. Batang mengandung tanin, saponin, dan kalsium oksalat. Getah mengandung racun jantung yang menyerupai digitalis.



TANAMAN OBAT UNTUK BALITA

Anak balita kerap mengalami sakit karena tubuhnya memang masih rentan terhadap serangan penyakit. Untuk menyembuhkannya yang paling baik adalah melalui cara-cara yang alami. Berikut adalah beberapa ramuan herbal untuk balita :
1. Air Kelapa Muda & Kopi
Dapat digunakan untuk obat muntaber karena air kelapa muda banyak mengandung mineral kalium, yang banyak keluar ketika anak muntaber. Dosisnya tak ada takarannya, terserah anda. Dicampur dengan sedikit kopi (seujung sendok saja).
2. Brotowali (Putrawali, Andawali)
Untuk pemakaian luar bermanfaat menyembuhkan luka-luka dan gatal-gatal akibat kudis (scabies). Caranya, 2-3 jari batang brotowali dipotong kecil-kecil, rebus dengan 6 gelas air. Setelah mendidih, biarkan selama 1/2 jam. Saring air dan gunakan untuk mengobati luka serta gatal-gatal.
3. Jeruk Nipis
Untuk mencairkan dahak dan obat batuk anak. Caranya, campur 1 sendok makan air perasan jeruk nipis, 3 sendok makan madu murni, 5 sendok makan air matang, lalu di tim selama 30 menit. Takaran minum bayi :
  • anak usia 6 bulan – 1 tahun : 2 kali 1/2 sendok teh
  • anak usia 1-3 tahun : 2 kali 1 sendok teh
  • anak usia 4-5 tahun : 2 kali 1 1/2 sendok teh
Cara lain, potong 1 buah jeruk nipis, peras airnya, taruh dalam gelas/cangkir. Tambahkan kecap manis, aduk. Takaran minum untuk anak 3 kali 1 sendok teh per hari.
4. Kentang
untuk obat bisul. Caranya, parut kentang dan peras. Oleskan sari air dan parutan kentang segar dioleskan pada bisul 3-4 kali per hari. Bisa pula untuk ruam kulit yang disebabkan biang keringat atau keringat buntet (miliaria), karena sifat kentang yang mendingingkan.
5. Banglai (bangle, panglai, manglai, pandhiyang)
Untuk menenangkan bayi dan anak yang sering rewel pada malam hari, balurkan parutan bangle segar di kening dan badan anak.
6. Minyak Zaitun
Untuk mengobatai kerak kepala atau ketombe pada bayi (cradlle crap), sebanyak 1-2 kali per hari dioleskan pada kulit kepala.
7. Lidah Buaya
Untuk mengobati luka bakar pada bayi dan anak. Caranya dengan mengoleskan daging daun lidah buaya pada permukaan kulit yang luka bakar.
8. Daun Pepaya
Berkhasiat meningkatkan nafsu makan, menyembukan penyakit malaria, panas, beri-beri dan kejang perut. Caranya, daun pepaya muda ditumbuk, diperas, saring lalu minum airnya.
9. Temulawak
Untuk menambah nafsu makan. Caranya 150 gram temulawak dan 50 gram kunyit segar dikupas, iris tipis, rendam dalam 500 cc madu kapuk dalam toples tertutup selama 2 minggu. Setelah 2 minggu ramuan siap digunakan. Aturan minum 1 sendok makan madu temulawak dilarutkan dalam 1/2 cangkit air hangat, diminum pagi dan sore.
10. Kencur
Untuk meringankan batuk pada anak. Caranya 5 gram kencu sgar dicuci bersih, parut, lalu tambahkan 2 sendok makan air putih matang dan diaduk. Setelah disaring, tambahkan 1 sendok makan madu murni. Berikan 2-3 kali sehari.
11. Adas
Teh adas dapat dipakai untuk meringankan bayi yang menderita kolik atau yang kesakitan akibat keluarnya gigi. Untuk obat masuk angin dan kolik, caranya 1 sendok teh adas dilarukan dengan 1 cangkir air mendidih, aduk hingga larut. Setelah agak dingin, larutan dapat diminumkan pada bayi/anak dengan takaran :
  • usia 6 bulan-1 tahun : 2 kali 1/2 sendok teh
  • usia 1-3 tahun : 2 kali 1 sendok teh
  • usia 4-5 tahun : 2 kali 1 1/2 sendok teh



PENYAKIT KAKI GAJAH DENGAN TANAMAN OBAT

Penyakit kaki gajah ini bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan, dengan kelompok umur yang beresiko tinggi terserang penyakit tersebut yaitu kelompok umur di atas 14 tahun, dengan proporsi rata-rata 50 persen merupakan usia produktif.
Perbedaan penyebaran penyakit Kaki Gajah ini dengan penyakit Malaria dan Demam Berdarah (DB) yaitu, medium penularan penyakit Kaki Gajah bisa terjadi atau ditularkan oleh 23 jenis nyamuk, baik jenis anopheles, aedes, nyamuk rumah, nyamuk rawa dan jenis lainnya. Sedangkan penyakit Malaria hanya oleh satu jenis nyamuk yaitu jenis anopheles, begitu juga dengan penyakit DB yang ditularkan melalui nyamuk jenis aedes aegepty.
Berdasarkan hasil survey dan analisa, berbagai lembaga kesehatan, secara umum menyimpulkan, penyakit Kaki Gajah erat kaitannya dengan perilaku masyarakat yang berpola hidup tidak sehat. Misalnya mengabaikan tercukupinya waktu istirahat seperti tidur dan tidak suka berolah raga, sehingga daya tahan tubuh lemah, serta lingkungan sekitarnya yang tidak sehat.
Untuk mengetahui tingkat stadium dari gejala klinis penyakit Kaki Gajah akut, kita dapat melihat dari beberapa hal yang terjadi akibat infeksi yang ditimbulkan oleh nyamuk yang membawa cacing filaria tersebut. Seperti, pertama, adanya demam berulang-ulang selama 3-5 hari. Demam tersebut dapat hilang bila istirahat. Tetapi muncul lagi apabila melakukan kerja yang memberatkan.
Kedua, adanya pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (lymphangitis) yang tampak kemerahan, panas, dan sakit. Ketiga adanya radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (retrograde lymphangitis). Akibat seringnya menderita pembengkakan getah bening, sewaktu-waktu dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah. Dan keempat, adanya pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
Sedangkan gejala klinis yang kronis, dapat dikenali dengan adanya pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, dan buah zakar.
Secara umum untuk menentukan seseorang terkena penyakit Kaki Gajah dapat diketahui setelah melakukan diagnosis, yaitu dengan cara pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam waktu setempat. Dari pemeriksaan tersebut, seseorang dinyatakan sebagai penderita penyakit Kaki Gajah, apabila dalam persediaan darah tebalnya ditemukan mikrofilaria.
Dan mengenai cara mengobatinya bisa dilakukan secara massal di daerah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albenzol sekali setahun, selama 5 sampai 10 tahun. Sedangkan untuk mencegah reaksi efek samping seperti demam, bisa diberikan Parasetamol, dengan menggunakan dosis obat untuk sekali minum adalah, DEC 6 mg/kg/berat badan, dan Albenzol 400 mg (1 tablet).
Pengobatan pada kasus klinis, baik yang stadium dini maupun lanjut bisa dihentikan apabila Mf rate (mikrofilia rate) sudah mencapai lebih kecil dari 1 persen secara individual/selektif. Sedangkan upaya untuk melakukan pencegahan terhadap penyakit ini, dengan berbagai cara yaitu seperti, pertama, berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor), misalnya dengan menggunakan kelambu bila sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau nyamuk bakar, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk.
Kedua, dengan cara memberantas nyamuk, yaitu dengan membersihkan rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk. Untuk itu perlu melakukan tindakan menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk, dan membersihkan semak-semak di sekitar rumah. Dengan cara tersebut, diharapkan vektor penyebab penyakit Kaki Gajah bisa dihilangkan atau dibasmi. Sehingga harapannya, penyakit Kaki Gajah dapat diminimalkan penyebarannya.



67 Persen Kabupaten Endemis Kaki Gajah

AMBON-MI: Data Departemen Kesehatan menunjukkan hingga Agustus 2009 sedikitnya 67 persen kabupaten/kota di Indonesia merupakan daerah endemis penyakit kaki gajah atau Filariasis.

"Sebanyak 316 dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia sudah menjadi daerah endemis penyakit kaki gajah, sehingga perlu penanganan serius," ujar Kepala Sub Bidang Filariasis, Departemen Kesehatan dr I Nengah Darna di Ambon, Jumat (16/10).

Darna yang berada di Ambon untuk sosialisasi penyebaran penyakit itu kepada seluruh pimpinan Puskesmas serta Kepala Desa dan Lurah se-Kota Ambon, mengatakan jumlah penduduk pada daerah endemis yang berisiko tertular penyakit ini mencapai 125 juta jiwa, di mana 20 persen di antaranya tingkat penularannya masuk kategori kronis.

Kenyataan ini, menurut dia, memposisikan Indonesia pada peringkat kedua di dunia dengan tingkat penyebaran penyakit begitu cepat, setelah Bangladesh di peringkat pertama dan India di peringkat tiga.

"Sebanyak 20 persen dari total populasi penduduk di suatu wilayah endemis berpotensi tertular. Mungkin orang akan terlihat normal tetapi dalam tubuhnya sudah mengandung cacing filarial, sehingga perlu diobati secara serius," ujar Nengah.

Menurut dia, Depkes kini serius menangani penyebaran penyakit yang dikategorikan "menular menahun" tersebut dengan melakukan pengobatan tidak hanya kepada penderita, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya, mengingat penyebaran penyakit ini sangat cepat dan perantaranya adalah nyamuk.

Pada daerah-daerah endemis, pemerintah tidak lagi melakukan pengobatan kepada warga yang menderita atau yang memiliki gejala terkena penyakit ini saja, tetapi dilakukan secara merata kepada semua warga yang ada di wilayah itu, untuk mencegah penularannya.

"Jika nyamuk telah menggigit penderita kaki gajah dan kemudian berpindah menggigit orang yang sehat, cacing filarial akan langsung menular. Karena itu, pengobatan ilakukan secara menyeluruh kepada penderita maupun orang yang sehat dalam suatu lingkungan," katanya.

Dia mengatakan obat untuk menyembuhkan penyakit kaki gajah, jika diminum orang yang sehat sebagai langkah antisipasi, tidak akan menimbulkan resiko besar, selain hanya mengalami efek samping seperti pusing.

Khusus di Pulau Sumatera dan Kalimantan penularannya tidak hanya melalui nyamuk kepada manusia, tetapi penyakit dengan gejala kaki membengkak dan menjadi besar itu juga sudah menginvfksi hewan yakni kucing.

"Memang kakinya terlihat biasa kendati membesar dan penderitanya bisa berjalan, namun sebenarnya penyakit yang diderita ini sudak masuk stadium kronis," ujarnya.

Dia menambahkan Maluku khususnya Ambon merupakan salah satu daerah yang tergolong rawan penyebaran penyakit kaki gajah.

Depkes akan melakukan pengobatan secara nasional di semua daerah endemis penyakit kaki gajah bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan ke-45 pada 12 November mendatang, dan pengobatannya akan dilakukan secara rutin selama lima tahun berturut-turut. (Ant/OL-7)
Sumber : Media Indonesia



BATAN DAN FILARIASIS


Sampai saat ini penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu penyakit menular yang pada tahun-tahun belakangan ini menyerang beberapa provinsi di Indonesia termasuk sebagian warga di provinsi Jawa Barat dan Banten, adalah penyakit kaki gajah atau dikenal dengan filariasis. Beberapa daerah dinyatakan sudah mengalami endemis di antaranya Garut, Tasikmalaya, Karawang, Subang, Purwakarta, Bekasi, Bogor dan Depok. Malahan kota Bandung pun tidak luput dari serangan penyakit ini. Karena jumlah penderita filariasis cukup signifikan, maka penyakit ini telah menjadi suatu penyakit yang membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius dari Departemen Kesehatan RI khususnya Bidang Pelayanan dan Penanganan Penyakit Menular.

Ruang lingkup kebutuhan penelitian dalam menanggulangi penyakit menular adalah mencakup metode pengendalian dan pencegahan, salah satu termasuk di dalamnya penelitian tentang diagnosis dan pendeteksian dini. Penyebab filariasis yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah cacing gelang genus filaria Wuchereria bancrofti. Cacing ini hidup dan berkembang biak dalam darah dan jaringan penderita. Dalam mendeteksi secara dini penyakit filariasis, pihak Dep.Kesehatan mengalami kesulitan karena pendeteksian adanya infeksi cacing filaria dari sampel darah harus dilakukan pada malam hari. Seperti diketahui cacing tersebut pada siang hari berada pada saluran limfatik dan bermigrasi ke saluran darah pada malam hari.

Metode limfosintigrafi yang berkembang baru-baru ini di kedokteran nuklir adalah suatu cara diagnosis atau penelusuran sistem limfatik menggunakan radiofarmaka bertanda radionuklida pemancar sinar-gamma yang disuntikkan secara intradermal ke dalam saluran limfatik, dan pergerakan dari radiofarmaka tersebut dapat dideteksi dari luar tubuh dengan kamera gamma atau probe khusus untuk limfosintigrafi, sehingga diperoleh gambaran seluruh sistem limfatik beserta kelainan atau penyumbatannya. Sejauh ini limfosintigrafi hanya dilakukan untuk mengetahui adanya penyumbatan dalam sistem limfatik tanpa mengetahui apa yang menjadi penyebabnya atau untuk menelusuri adanya sentinel node pada penderita kanker payudara, getah bening dll. Dengan mengembangkan radiofarmaka yang spesifik dapat mendeteksi keberadaan cacing filaria, diharapkan metode limfosintigrafi dapat dimanfaatkan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi praktisi medis dalam mendeteksi dini penyakit filariasis.

BATAN melakukan penelitian ini dengan mengembangkan pembuatan radiofarmaka dengan cara menggabungkan senyawa dietil-karbamazin (DEC) yang telah dikenal secara luas sebagai suatu obat anti filariasis dengan radionuklida teknesium-99m (99mTc) yang diperoleh dari hasil luruh radioisotop Molibdenum-99 (99Mo) hasil aktivasi 98MoO3 alam di reaktor nuklir, membentuk suatu senyawa bertanda 99mTc-dietil-karbamazin (99mTc-DEC) yang diharapkan dapat digunakan sebagai kit-diagnostik terpilih untuk mendeteksi secara dini penyakit filariasis sehingga tindak lanjut pengendalian dan pengobatan penyakit dapat dilakukan secara lebih cepat, tepat, spesifik dan akurat.

Sumber : Dra. Nanny Kartini Oekar, MSc. P.U, PTNBR BATAN Bandung

Lihat juga : www.filariasis.org



Filariasis Limfatik (Kaki Gajah) di Indonesia





Indonesia merupakan kebun binatang parasit terbesar di dunia, dengan salah satu koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera serta sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari tahun ke tahun langganan terinfeksi kaki gajah .

Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing filaria merambat di sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe. Di antara spesies antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.

Satu konsep mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya endosimbion yang terjadi di dalam tubuh filaria. Para pakar Tropical Medicine menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan Wolbachia. Konon, individu ini berhubungan endosimbiosis sangat erat dengan filaria sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial.

W. bancrofti merupakan spesies yang sangat terkenal di dunia, meski hanya sedikit sekali mahasiswa kedokteran di dunia yang mempelajari secara intensif mata kuliah Parasitologi atau Tropical Medicine. Sekitar 115 juta manusia terinfeksi parasit ini di daerah subtropis dan tropis, meliputi Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Selatan, serta Kepulauan Karibia. Spesies dengan periodisitas subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di Kepulauan Pasifik dengan vektor Aedes sp., sementara sebagian besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan vektor Culex fatigans dan Culex cuenquifasciatus di Indonesia. Vektor Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan vektor Aedes dapat ditemukan di daerah-daerah rural.

Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa khas Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip dengan W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk periodisitas. Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di daerah pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang).

Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.

Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.


Jadi, jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing dewasa yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.

Tokoh Utama Filariasis

Seluruh parasit filaria menjangkiti sekitar 170 juta orang di dunia dengan transmisi melalui nyamuk atau arthropoda lainnya. Parasit ini memiliki siklus hidup yang kompleks, meliputi stadium larva infektif yang dibawa oleh serangga menuju hospes definitif (hanya) manusia berkembang menjadi cacing dewasa di pembuluh limfe atau jaringan subkutan lain, misalnya mata pada Loa loa. Larva infektif yang disebut mikrofilaria ini berukuran panjang sekitar 200 hingga 250 µm serta lebar 5 hingga 7 µm yang bersarung. Bedanya, di antara W.bancrofti, B.malayi, dan B.timori, hanya B.timori yang sarungnya tidak menyerap pewarna sehingga tidak kelihatan bersarung di mikroskop. Yang juga membedakan ketiga spesies ini, pada spesies Brugia, terdapat inti tambahan terutama di ujung ekor serta karakteristik lain seperti jarak mulut, panjang tubuh.

Perkembangan dari larva muda hingga menjadi larva infektif di dalam tubuh nyamuk berlangsung selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya larva dari nyamuk ke tubuh manusia hingga menjadi cacing dewasa berlangusng selama 3 hingga 36 bulan. Meski terkesan gampang sekali tertular oleh nyamuk, namun pada kenyataannya diperlukan ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit filaria. Selain itu, jika sudah terpajan berulang kali dengan nyamuk vektor filarian ini, terdapat kekebalan yang cenderung meningkat. Jadi, orang-orang kampung yang sudah biasa digigit (dihisap) nyamuk Aedes atau Culex akan lebih kebal dibanding orang-orang kota yang kebetulan sedang bepergian ke daerah-daerah perkampungan yang endemis filariasis.

Tanda dan Gejala Klinis
Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok –dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum –dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.

ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia. Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.

Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port d’entrée dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.

Diagnosis Praktis
Gold Standard untuk sebagian besar penyakit akibat infeksi parasit ialah menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam kasus filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin ditemukan secara utuh karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam dan berkelok-kelok. Karenanya diagnosis filariasis ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di darah tepi.

Selain di darah tepi, mikrofilaria dapat pula ditemukan di cairan hidrokel, atau kadang-kadang di cairan tubuh lainnya. Cairan ini dapat diperiksa secara mikroskopis secara langsung atau disaring dulu konsentrasi parasit sudah mampu melewati filter pori silindris polikarbonat (ukuran pori sekitar 3 µm). Bisa juga cairan disentrifugasi dengan 2% formalin (teknik Knott) baru kemudian dapat dideteksi parasit mikrofilaria secara spesifik dan sensitif.

Yang tak boleh lupa ketika mengamati parasit ini, sediaan mesti diambil menurut perkiraan periodisitas sesuai spesies dan hospesnya. Biasanya untuk W.bancrofti sediaan diambil dari darah ketika malam hari, atau lazim dikenal sediaan darah malam. Meski demikian, tak jarang pula orang yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium parasit sudah selesai melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing dewasa.

Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping sediaan darah malam ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan praktis ini mampu mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa dari darah tepi sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas antara 96 hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia.

Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80% penderita filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali spermanya. Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar metode di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun biasanya hanya digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE dan eosinofil, serta penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran dan liku-liku pembuluh limfe.

Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari tromboflebitis, infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan pembeda utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta abnormalitas sistem limfe kongenital.

Pengobatan
Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang baik.

Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni ketika manifestasi cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama.

Pasien dengan limfedema positif pada ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan menjaga agar daerah yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder. Sementara itu hidrokel bisa dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan dengan baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa dikurangi hingga menjadi sangat minim.

Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg) merupakan patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis. Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah mampu membunuh parasit-parasit yang ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi mikrofilaremia secara cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal dikombinasikan dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif.

Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah. Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di dalam darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping yang serupa dengan gejala ini.

Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia. (farid)

sumber: majalah-farmacia.com

F I L A R I A S I S

Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas

WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020 (. Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan missal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular : Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat berperan sebagai vector penular penyakit kaki gajah.

Cara Penularan :

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3 ? 5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

Diagnosis:
Filariasis dapat ditegakkan secara Klinis ; yaitu bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan tanda-tanda dan gejala akut ataupun kronis ; dengan pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria. Pencegahan ; adalah dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector ( mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu bula akan sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk baker, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk ; dengan membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah.

Pengobatan :

secara massal dilakukan didaeah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albenzol sekali setahun selama 5 ? 10 tahun, untuk mencegah reaksi samping seperti demam, diberikan Parasetamol ; dosis obat untuk sekali minum adalah, DEC 6 mg/kg/berat badan, Albenzol 400 mg albenzol (1 tablet ) ; pengobatan missal dihentikan apabila Mf rate sudah mencapai <>




LinkWithin

Related Posts with Thumbnails